Kekurangan itu bisa menjadi karisma tersendiri, Aku bersyukur menjadi diriku, tak ada orang yang sepertiku. Risna, kamu harus beryukur tiap saat yah! Kalo lupa, tilawah hari ini nambah satu lembar. Janji?

Senin, 05 Maret 2012

Kesel??? Nggak Nggak Nggak Kuat…

Beberapa pekan yang lalu, aku dan beberapa rekan punya janji untuk makan bersama di sebuah rumah makan dalam rangka closing sebuah event kerjasama 2 lembaga kemahasiswaan. Saat itu kami menyantap makanan sambil membicarakan salah seorang dari kami yang tak kunjung datang. Kami terus saja menghubunginya, bahkan salah satu dari kami telah menghubunginya sejak pagi, namun tak satupun telepon dari kami ia angkat. “Ada apa gerangan dengannya?”, begitu pertanyaan yang selalu kami lontarkan antara satu dengan yang lain sambil bertatap muka mengharap mendapat titik terang. Memang, beberapa jam sebelum agenda makan bersama itu, ada sedikit masalah mengenai perpindahan waktu. yah, semacam miss komunikasi gitu. Semua menduga-duga, mungkinkah ia marah dan merasa tersinggung karena masih mempermasalahkan waktu itu. Dalam posisi seperti itu, aku sebenarnya sangat kesal pada orang yang notabenenya lebih senior daripada aku itu, namun sembari terus menghubunginya kukatakan pada yang lain, “Mungkin tiba-tiba dia ada pekerjaan mendadak yang nggak bisa ditinggal!”. Rasanya nggak mungkin juga hal sepele macam itu menjadi alasan tidak hadirnya ia di agenda tersebut.
Setelah sekitar satu jam lebih, kamipun mengakhiri makan. Mengingat ini merupakan Closing agenda dan tak ingin menciptakan rasa tak enak antara satu dengan yang lain, kamipun menyempatkan untuk memesan satu bungkus nasi beserta lauknya ditambah jus untuk salah seorang dari kami yang tak hadir. Kami memutuskan untuk pergi ke rumahnya. Jreng jreng, sesampainya di rumah, orang yang kami harapkan telah berada di rumah ternyata belum pulang. Kamipun menghubunginya kembali, bahkan orang rumah ikut menghubunginya. Berkali-kali telpon kami tak ia angkat. Kekesalanku rasanya hampir di ujung tanduk sampai akhirnya telepon tersembung juga dengannya. Kupikir ini sebuah jalan terang, tapi perkataannya di seberang sana justru menjadi marabahaya bagi keselamatan pikiran dan hatiku, ibarat gunung merapi, udah saatnya hampir meletus (hehe, lebay ya..), “Saya belum bisa pulang sekarang. Datang aja ke blablabla (sambil menyebut lokasi ia berada)”.
“Apaaa?? Ngelonjak banget sih ni orang. Sudah nggak kasih kabar, terus gabisa nyempatin waktu untuk pulang barang sebentar untuk menemui kami. Keterlaluan!” Ujarku kepada salah seorang rekan.
Dengan berusaha tampil tak terlalu kesal (tapi sepertinya lumayan tampak), kamipun memutuskan untuk mendatanginya di tempat yang ia maksud.
Sesampainya di sana, aku dan partnerku yang memang suka bicara apa adanya dan lumayan ekspresif tentang apa yang dirasa langsung menceramahinya panjang lebar di depan yang lain. Kami sampaikan kekesalan padanya dengan wajah yang terlipat tiga dan nada yang lumayan tinggi bercampur khas kami yang cerewet. (Yah maaf, kalau terlalu ekspresif)
Setelah itu kami menarik nafas dan menurunkan tensi keemosian kami. Kami mulai membentuk senyum lagi dan mengatakan “Maaf lahir batin, kak!” karena semenjak lebaran belum pernah bertemu dengannya lagi.
Iapun mulai menjelaskan alasannya. Hmm, alasan yang lumayan masuk akal. Setelah ia menceritakan alasannya, kami berdua pun langsung menimpali, “Tapi konfirmasinya donk kak kalau nggak bisa, jadi orang nggak salah sangka!” ucapan itu sekaligus menyiratkan solusi atas kesalahan yang ia perbuat atas ketidaksempatannya membalas sms/ merespon telpon kami.
Setelah itu, semuanya mereda. Tak ada lagi kekesalan di antara cakap kami. Bahkan di dalamnya terselip canda yang benar-benar tulus tanpa dendam. Kami seolah melupakan kejadian yang baru beberapa jam kami alami.
Yup, semuanya berakhir bahagia, pulang dengan perasaan kenyang dan lega.
Dari peristiwa itu, beberapa yang akhirnya menjadi catatan pentingku. Adakalanya kita perlu mengungkapkan kekesalan agar kita menemukan titik terang. Tentunya kekesalan itu diungkapkan dengan cara yang masih wajar dan tidak membuat suasana makin panas. Biarkan ia mengetahui betapa kita kesal padanya dengan harapan bisa menjadi koreksi baginya agar tak mengulangi lagi. Lagipula, lebih baik diungkapkan di hadapannya kan daripada ngedumel di belakang tapi nggak dapat jawaban pasti dan solusi pun entah nyangkut dimana. Pikiran jadi dipenuhi prasangka negatif.
Hm, jadi teringat pesan seorang kawan ketika aku dan diapun tengah menghadapi perbedaan pendapat, “Seorang sahabat tidak akan mencampur antara ciuman dan tamparan”. Selama hal itu untuk kebaikan orang terdekat kita, maka sampaikan.
Satu lagi yang tak kalah penting. Hal ini biasa diadaptasi oleh kebanyakan orang. adapula kalanya kita harus menutup kekesalan dan menghiburnya dengan kalimat “Sabaaaarr, tak semua hal bisa kau pandang dari sisimu”. Berpikirlah yang jernih, jangan sampai kekesalan itu hanya muncul karena desakan keegoisan kita.

Tidak ada komentar: