Kekurangan itu bisa menjadi karisma tersendiri, Aku bersyukur menjadi diriku, tak ada orang yang sepertiku. Risna, kamu harus beryukur tiap saat yah! Kalo lupa, tilawah hari ini nambah satu lembar. Janji?

Senin, 20 Juli 2009

Babarata: Menapak salju di balik catatan lusuh

1. Jadulnya gue
Tak ada jiwa yang sempurna, mungkin itulah ungkapan yang akan diusung ketika kita bercermin pada diri kita sendiri. Dahulunya mungkin saja kita bukan apa-apa, tak ada orang yang mengenal kita, walaupun mereka tahu, mungkin saja yang terekam dalam ingatan mereka adalah kejelekan kita, kelakuan kita yang merugikan kerabat, kecurangan kita yang menistakan, dan tindakan-tindakan kita yang merugikan diri kita sendiri. Atau mungkin saja ternyata kita dahulunya adalah seorang yang hanif, namun tiba-tiba karena pergaulan remaja yang kejam dan super canggih membuat anda harus lengser dari gelar hanif. Dandan acak adul, gaul bareng anak-anak funky bin slengekan, pacaran, clubbing, itulah keseharian kita setelah melepaskan gelar hanif itu. Naudzubillah… Jauh lebih beruntung orang yang dahulunya acak-acakan dan ngawur lalu ia berubah menjadi orang yang lebih baik ketimbang orang yang dahulunya nggak pernah macem-macem lalu menurun kualitas dirinya karena budaya barat berhasil meruntuhkan pemikiran para muslim yang nggak kuat benteng pertahanannya.
Dulu, gue juga nggak lepas dari yang namanya cinta, sahabat, bohong, muna yang mungkin masih ada dalam diri gue, dan sebagainya lah ala anak-anak SMA pada umumnya. Gue anak Rohis tapi masih menjunjung tinggi nilai-nilai percintaan lawan jenis. Gue berjilbab tapi jilbab gue bongkar pasang. Gue tahu bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram itu nggak boleh, tapi nggak asyik rasanya kalo canda nggak nyentuh or pegang-pegang. Tapi, itulah 17an gue di sekolah yang menurut gue indah pada masa itu. (Eeeitt, tapi gue juga nggak terlalu bandel ya, walaupun di catatan lusuh gue banyak cacatnya, azas-azas peri-pertemanan&percintaan tetap ada lho! pembelaan dikit nggak apa-apa dong??)

2. Awal dunia baru gue…
Saat itu seluruh siswa kelas tiga SMAku dinyatakan telah lulus ujian. Kami berpencar untuk memuluskan visi orang tua kami menyekolahkan kami (pengen anaknya jadi orang, bro). Mengikuti tes sana-sini, dan memasang muka pasrah pada saat pengumuman. Walhasil, ada yang senang karena lulus tes dengan sukses atau gagal dengan sempurna. Gue masuk di salah satu fakultas yang sebenarnya gue maju-mundur di bidang ini. Gue segera melakukan registrasi ulang dengan undang-undang permahasiswabaruan:
1. Maba taat dengan ketentuan registrasi
2. Nunduk kalo ketemu tampang matur (mahasiswa tuwir)
3. Senyum-senyum aneh ngeliat kesalahan yang nggak disengaja ketangkap basah sama orang
4. SKSD (sok kenal sok dekat) sama orang yang senasib
5. N2P (Nanya-nanya polos) sama “kakak tingkat” yang standby di posko-posko
Di kampus gue, Tiap fakultas ada posko-posko yang sengaja di dirikan untuk membantu mahasiswa baru dalam menyelesaikan registrasinya. Tiap fakultas memiliki beberapa posko yang menaungi sejumlah organisasi seperti BEM, HIMA, dan satu lagi dari mushalla. Dengan memakai undang-undang no.5/maba/2007, gue mendatangi salah satu posko yang di dalamnya ada mba-mba jilbaber yang murah senyum. Memang benar, senyum mereka adalah lambang keramahan mereka. Gue dibantuin sampai administrasi gue hampir selesai bahkan tanpa pamrih. Paling kalau giliran mengetik KRS, mereka hanya meminta infaq (nominal tidak ditentukan, bro). Padahal, mengetik satu paket KRS(empat per paket, bro) dengan mesin ketik sangatlah melelahkan bahkan menyakitkan tangan mereka. Bayangkan yang mereka bantu itu bukan cuma gue!
Yah, perlahan-lahan saat-saat registrasi pun telah selesai. Gue segera menikmati hari-hari gue yang baru dengan wajah-wajah yang mungkin saja belum pernah gue kenal atau mungkin saja gue akan bernostalgia dengan orang-orang yang pernah gue kenal dahulunya.
“A’, doaen gue ya, hari ini kul pertama gue nih.” Send to Kkq sayank.
Walaupun sekolah gue selama 12 tahun sudah selesai, bukan berarti gue ama si do’i bubar juga dong, dulunya sih pikiran gue begitu. Saat itu gue memang masih percaya sama jodoh yang nggak bakal ketemu kalau nggak pacaran. Astaghfirullah Dzalim sama diri sendiri tuh!

3. Gampang banget tersentuh, yakin peri kemanusiaannya tinggi???
Awal dunia baru gue juga menjadi dunia baru bagi perstasiunan televisi yang semakin mempertontonkan reality show penggugah jiwa. Keprihatinan semakin dipertegas dengan kehidupan sehari-hari sang kakek, nenek, atau sang bapak yang kehidupannya di bawah standar seperti andai aku menjadi. Batin kita dibuat pilu, bahkan hati kita miris ingin menangis. Tapi apakah dengan menangis lantas penderitaan orang-orang di luar sana menjadi minim? Apakah dengan kata-kata akibat pilu membuat mereka terobati. Tidak! Itu justru menghancurkan hati mereka yang sedang dilanda kesusahan. Andai saja orang baik yang diciptakan di dunia pertelevisian itu pemberdayaannya banyak, paling tidak sebelas dua belas dengan jumlah orang fakir di dunia, tentu itu lebih bermanfaat dibandingkan hanya duduk lesu terdiam dan menangis melihat tayangan maha dahsyat itu. Sama halnya dengan penyerbuan Zionis ke tanah Palestina. Ketika kita hanya terdiam, pilu, kelu dalam berkomentar di hadapan televisi menyaksikan berita demi berita, itulah saatnya rasa peri kemanusiaan kita dipertanyakan. Ada apa dengan rakyat? Atau lebih tepatnya ada apa dengan umat muslim saat ini? Bukankah Al-Aqsha adalah milik semua umat muslim dan bukan hanya milik Palestina?
Sobat, Tahukah kalian aksi-aksi Solidaritas yang banyak dilakukan rakyat Indonesia beberapa waktu lalu sangat membantu rakyat Palestina. Para Zionis sakit hati sekali melihat begitu banyaknya perlawanan yang datang dari Indonesia. Bantuan dana dari kita itu sangat membantu pertahanan rakyat Palestina. Ini pun pernah dilontarkan oleh rakyat Palestina yang berterima kasih sekali dengan Indonesia yang masih sangat peduli dengan mereka.
Nah sobat, jadi ketika suatu saat ada yang mengadakan aksi, dan apapun bentuknya untuk kemaslahatan, yakinlah tentu semuanya memang bermanfaat walaupun saat ini kamu tak merasakannya secara langsung. Ajak hati kamu berdiskusi, sudah tepatkah kamu meletakkan rasa perikemanusiaanmu? Kalau ternyata belum, mainkan logika mengapa harus menonton televisi dan menangis tak jelas di depan televisi?

Tidak ada komentar: